https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211110114252-20-719134/bencana-longsor-di-sukabumi-isolir-5-kampung
Gambar di atas merupakan gambar dari kejadian bencana longsor. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi maka semakin maju pula dunia berita. Di mana sekarang dengan mudahnya kita mendapatkan info tentang bencana yang terkadang kitapun tidak tahu lokasinya. Dengan semakin canggih dunia digital maka semakin cepat informasi tersebar. Untuk tulisan kali ini saya akan menceritakan tentang bencana alam yang pernah saya alami dan sangat membekas dalam ingatan sampai saat ini. Kejadian terjadi sekitar tahun 1982 di mana saat itu saya masih tinggal di kampung di Ciamis, sebuah desa yang masih sangat asri di mana masih banyak tumbuh pohon - pohon besar bahkan dikampung saya ada satu huta yang tidak boleh diganggu atau orang tua menyebutnya Leuweung tutupan. Pada waktu itu saya belum paham apa arti dari kata itu, yang saya tahu dihutan itu banyak terdapat makam keramat dan banyak terdapat beberapa mata air yang dapat digunakan oleh semua warga. Desa saya secara topografi sebetulnya termasuk daerah datar namun banyak terdapat bukit-bukit kecil yang kalau disebut bukit rasanya terlalu besar, namum kami menyebutnya gawir atau sejenis tebing yang agak curam. Itulah sebagian gambaran topografi desa saya. Setiap kali turun hujan dimalam hari atau hujan yang tidak berhenti-henti sudah pasti saya akan terus teringat pada peristiwa itu. Kalau orang sekarang menyebutnya trauma kali ya. Trauma yang sangat mendalam.
Begini ceritanya, saat itu hujan turun tiada henti semenjak malam yang saya ingat pada waktu itu hari sabtu, kebetulan ada kerabat dari nenek yang akan mengadakan acara pernikahan, maka kami pun berkunjung ke rumah kerabat walau keadaan masih hujan. Rumah kerabat nenek beda desa agak lumayan jauh sih karena kami menuju kesana berjalan kami menghabiskan waktu satu jam untuk sampai ke sana. Hujan sempat terhenti sebentar, kami sekeluarga berangkat dengan jalan kaki, jangan membayangkan jalan yang mulus ya, maklum masih jaman jadul. Kami memutuskan untuk menginap karena acara pernikahan dilaksanakan pagi harinya tepatnya hari minggu. Pada waktu itu desa kami masih belum ada listrik seperti sekarang. Kami masih menggunakan lampu petromak, lampu minyak dan senter sebagai alat penerangan kami. Malam semakin larut hujanpun semakin lebat. Kami semua belum tidur karena sedang melakukan persiapan untuk esok hari. Suasana masih rame karena banyak tetangga dan kerabat yang datang membantu. Tiba - tiba terdengar suara ledakan diiringi suara batang kayu yang patah seperti suara ban mobil yang pecah diiringi oleh gemuruh, kamipun panik terdengar suara kentongan yang saling bersahutan dan terdengar orang yang teriak "longsor, longsor, ngungsi, ngungsi !!". Kami semua panik berhamburan keluar dari rumah, suasana malam yang gelap sudah tidak ingat apa-apa yang terpenting kita semua menghindari daerah bencana, Terdengar teriakan dari warga menyuruh kami berkumpul di kantor kepala desa. Sambil berjalan dalam kegelapan saya masih ingat waktu itu lumpur begitu tebal, kamipun susah untuk berjalan, saya terjatuh dan nangis ketakutan. Kaki terasa perih karena tidak memakai sandal dan lutut pun sakit. Dalam keadaan nangis tiba-tiba ada yang mengendong saya, tanpa pikir panjang sayapun digendongnya. Kami semua sampai ke gedung desa. Saya mencari nenek dan kakek serta bibi. Dalam keadaan tubuh kedinginan dan menahan sakit dilutut, saya terus menangis. Dalam hati terus berdoa semoga semua keluarga baik-baik saja. Tiba - tiba bibi datang menghampiri sambil terus memeluk saya. "Teteh tadi sama siapa kesini?" tanya bibi penuh kekhawatiran "Ada yang gendong, tapi nggak tahu siapa" jawabku "Alhamdulillah, kenapa itu kaki kok berdarah?" Tanya bibi sambil menyoroti kaki memakai lampu senter "Jatuh tadi di jalan" jawabku "Kenapa nggak nunggu bibi, malah lari duluan" tanya bibi " Takut bi, dikira yang tadi yang ngajak pergi bibi ternyata bukan" Jawabku "Udah nggak apa-apa" Jawab bibi menenangkanku
Kami semua berkumpul di gedung desa. Ada begitu banyak warga yang mengungsi di gedung desa. Suasana saat itu kacau sekali. Saya masih terus bertanya dalam hati dimanakah nenek dan kakek. Alhamdulillah nenek dan kakek masih sehat ternyata mereka tertahan di rumah kerabat karena akses jalan susah dilewati. Terus acara nikahan bagaimana? apakah ada yang terluka? berapa besar kerugian? dan berbagai tanya, namun karena saya masih kecil jadi ada beberpa kejadian yang saya lupa. Yang saya ingat ketika pagi harinya ada sebongkah batu sebesar rumah yang menghadang di jalan menuju rumah keramat kami. Saya baru sadar bahwa rumah kerabat ada di bawah tebing yang curam. Tebing mengalami longsor dikarenakan curah hujan yang cukup tinggi dan di atas tebing sudah banyak pohon yang ditebang diambil kayunya untuk dijadikan bahan bangunan.
Dengan kejadian di atas, saya sering berpikir tentang bagaimana perasaan para korban bencana terutama anak-anak. Seiring dengan bertambahnya usia semakin saya memahami bahwa kita harus selalu mencintai alam, selaras dengan alam karena kalau kita mencintai alam maka alam pun akan memberikan banyak manfaat. Janganlah terlalu mengekslpoitasi alam karena nantinya akan mengakibatkan bencana alam. Kita jangan terlalu terlena dengan keindahan alam, karena bencana akan terus mengintai kita. Dalam setiap musibah akan selalu ada hikmah, begitupun kejadian di atas. Semoga kita semakin bijak dengan alam.
|
Mencintai alam agar alam mencintai kita.
BalasHapusSegala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik, termasuk eksploitasi alam.
BalasHapusBencana selalu mengundang air mata. Juga pada anak-anak
BalasHapus